Surat Tanpa Penerima

Tak pernah ada yang bertanya apakah aku menunggumu atau sekedar menunggu saja. Menunggu adalah pekerjaan berat lagi menjenuhkan, tapi manusia mudah terbiasa dengan apa yang dibiasakannya. Aku tak begitu ingat sejak kapan menunggumu menjadi kebiasaan bagiku. Aku menunggumu diantara kesibukanku menimba ilmu dan mencari nafkah. Aku menunggumu ketika hendak menyebrang jalan, ketika berjalan, ketika berlari, ketika merasa lelah dan ketika kepalaku jatuh tertidur di lantai. Kadang ketika langit sore nampak cerah, ku angkat pandanganku ke atas, hatiku mengeja namamu, memanggilmu pulang lewat udara senja yang keras dan basah.

Menunggu adalah bentuk harapan kecil bahwa suatu hari nanti hari itu akan datang. Atau angan kosong bahwasannya kau tidaklah mati melainkan hanya berada di suatu tempat yang jauh sehingga sulit bagimu datang padaku.

Tempat itu sangat terpencil lagi asing sehingga tidak ada listrik apalagi signal ponsel, alasan kenapa kau tak menghubungiku.

Atau tempat itu sangat menyenangkan hingga kau lupa sesaat terhadapku. Bahkan jika kau menemukan penggantiku disana, itu tetap sebuah alasan untukku menunggumu.

Apa yang terbaik dari memiliki harapan adalah ketika itu menjadi alasanku hidup hari demi hari. Kesepian yang menyiksaku lebih pekat dari kegelapan dan lebih menyakitkan dari tiga mata trisula merobek jantungku, menerima kehilanganmu lebih dari itu bagiku.

Karena senyum manismu lebih dari melumerkan hatiku,

atau tatapan teduhmu yang menentramkan jiwaku dari kekhawatiran,

Mungkin juga rengkuhan tanganmu yang membawaku pada perlindungan penuh kasih sayang,

Mengingat bagaimana ribuan hari kita lalui bersama, penantianku tak terlalu buruk.

Sesekali ku kunjungi tempat yang kita pernah singgahi bersama, banyak tempat telah berubah namun jejak langkahmu dan deru nafas lelahmu dulu, sama terasa memenuhi tempat itu dan tak menjadikannya terasa berbeda bagiku.

Orang bilang kenangan hanya membunuh kehidupan masa depan, ku fikir itu berbeda bagiku.

Kenangan kita, justru menjadikan alasan bagiku untuk hidup di masa depan.

Meski itu hanya bermakna penantian panjang yang tak mengenal batasan.

Ingat ketika kita membatasi buku yang kita baca bersama dengan selembar daun maple?

Kita tidak mempercayai mitos menangkap daun maple akan menjadikan dua orang berjodoh, kita hanya menganggap mitos itu sangat manis, romantis dan klasik.

Klasik. Kau menyukai semua hal klasik termasuk puisi cinta, surat cinta, dan memberi bunga.

Omong-omong tentang itu, kapan aku akan menerima bunga darimu lagi?

Kini segala hal klasik mengingatkanku padamu. Pada kerinduan yang membuncah dan tak berbendung.

Harusnya kau tak memberiku bunga,

Atau puisi cinta,

Tidak juga Surat cinta.

Aku memarahimu lagi. Maaf.

Karena tak ada orang yang bisa ku marahi ketika kesedihan lebih dominan menguasai ketimbang interaksi yang bisa ku bentuk

Sendiri.

Aku merasa kesal jika harus sendirian seperti ini,

Tapi aku pun akan kesal ketika berada dalam kerumunan.

Keramaian tidak membantuku melupakanmu.

Malah semakin memperparahnya.

Aku muak berpura-pura bahagian dan mengumbar senyum, hanya demi dianggap normal.

Hubungan yang kita bentuk dan akhirnya putus, cukup untuk membuatku mati berkali-kali

Aku gagal mencari penggantimu, pengganti kenangan yang kau tinggalkan, pengganti alasanku bertahan dan pada gilirannya aku gagal untuk hidup dengan baik seperti yang ku janjikan padamu.

Tahun berapa ini, aku harusnya menanggali surat yang ku kirimkan padamu.

Surat yang tak pernah sampai karena aku tak menemukan alamatmu.

Karena kau pergi dan bersembunyi terlampau jauh dari dunia yang ku tinggali

Karena di tempatmu nama dan alamat telah menjadi fana.

Fana,

Kata-kata klasik yang kau suka, seperti juga ‘Kematian’ ‘Penghabisan’ dan ‘Surga’

Jadi, kapan aku bisa benar-benar menemuimu?

Tidak bisakah kau bertanya pada-Nya?

.

(Rindu, Penantian dan harapan adalah candu)

Tinggalkan komentar